
Senyuman Sunrise di Awal Jalan
Fajar menyapa lembut melalui celah kabut di lereng Gunung Slamet. Udara pagi menyelinap dari lembah ketinggian, mencekam hingga tulang, tetapi sinar mentari keemasan memecah kabut dan langit, seperti salam terbatas pagi yang menyambut kami.
Dari balik kabut itu, semangat kami berkobar — membakar dalam diam, siap menyalakan perjalanan panjang menuju atap Jawa Tengah.
Jejak Pertama & Semangat “Manjah”
Malam Jumat itu kami ber-15—Bagus,Mursid,yoedhi,Byos, Asep, Teguh, Hadi,Adiet,Hakim, ricky,Jerry, mandala, jangkung,yuki, iranto — berangkat dari Bekasi dengan HiAce sewaan. Setelah melewati jalan berliku, akhirnya tiba di Basecamp Bambangan pukul 3.30 pagi. Ada yang merem melempengkan badan, ada yang membungkus diri hingga telinga, tapi sebagian kecil berjalan santai menikmati udara kaki gunung—seperti mengelus harapan yang sedang terbayang.
Pagi menjelang, kami sarapan, berfoto di gerbang, kemudian teriak yel yel “Manjah, manjah, manjahnya!” menembus hening pagi. Sekitar pukul delapan, beres registrasi SIMAKSI, kami naik ojek—menyusuri trek curam secara dramatis—untuk menjangkau pos pertama.
Hutan Pinus & Misteri Samarantu
Dari Pos 1 ke Pos 2, jalur hutan pinus tipis membisik ringan namun cepat menjadi perdana pemanasan dengan aroma tanah basah. Nyamuk “penyambut” setia sesuai nama “Walang”. Pos 2 hadir seperti pelabuhan kecil—warung-warung menyediakan secangkir hangat dan potongan buah untuk menyulut kembali energi yang mulai terkuras.
Setelahnya jalan menuju Pos 3 mengerucut pada hutan campuran pinus dan cemara gunung, nafas makin berat dan langkah makin berat pula. Menuju Pos 4—Samarantu—terasa seperti mendaki ke sebuah legenda: sunyi rapat, nama “Samar-samar Hantu” bukan sekadar julukan. Angin tak banyak berbisik dan langkah terasa tergesa.
Oase di Samyang Rangkah (Pos 5)
Cahaya mulai menipis saat kami tiba di Pos 5—Samyang Rangkah. Di sini kami mendirikan tenda dan disambut suasana hangat warung-warung kecil—oase di tengah dingin dan ketinggian.
Kami memasak makanan sederhana, bercakap ringan sembari meradang dingin malam. Angin meningkat dan semangat kami juga—kami tahu, malam ini hanya persiapan sebelum mendekati langit
Plawangan – Pintu Menuju Langit
Jam 2 pagi, kami bangun. Setelah sabda doa dan yel yel semangat rendah “Manjah,” karena masih banyak yang belum bangun dari tenda, perjalanan summit dimulai.
Pos 6, 7, dan 8 kami tiba dalam tempo cepat—matahari belum bicara. Pukul 5.30–6.00 pagi kami sampai di Plawangan- pemandangan terbentang luas, memeluk gunung-gunung tetangga dan kemungkinan langit biru di kejauhan.
Klimaks di Puncak Slamet
Jejak terakhir ke puncak menanjak curam, jalur pasir dan batu membuat langkah terasa menyeret.
Namun saat langit mulai terbuka dan awan sunyi terbentang di bawah, hati kami luluh dengan syukur.
Bendera merah putih dan bendera CCM dikibarkan—senyap tapi menyala sebagai saksi bahwa perjalanan kami berarti.
Turun Menuju Cerita
Turun adalah drama lain: licin, kaki gemetar, tapi cerita dan tawa saling menyela.
Kami kembali ke Pos 5 sekitar pukul 10 pagi, lalu terus ke basecamp.
Di perjalanan pulang ke Bekasi, kami membawa bukan hanya tubuh yang lelah, tapi cerita yang akan hidup sepanjang masa—kisah tentang persahabatan, semangat “Manjah”, dan alam yang mengukir kenangan.
“Dari kedahsyatan pasir vulkanik dan bebatuan, kami muncul di puncak—tebing tertinggi Jawa Tengah.
Bendera kami berkibar, hati bergetar, syukur tanpa kata bergema dalam senyap kisah kami.”









